Oleh : Amin Purwanto, S. Pd
Siapa yang tidak mengenal Joko Widodo. Sosok yang lebih familiar dipanggil Jokowi dengan segala ciri khasnya yang melekat. Dalam ingatan kita jika mendengar nama Jokowi tentu akan terlintas pribadi yang sangat supel dan sederhana. Kesederhanaan inilah yang seakan-akan mewakili golongan rakyat "tingkat bawah" dan senantiasa dijadikan contoh sebagai seorang yang tidak pernah lupa akan asal usul dari mana dia berada.
Mengawali karier sebagai pengusaha mebel sampai dengan aktif dalam kegiatan politik (berafiliasi dengan Partai Demokrasi Perjuangan) mengantarkan beliau pada sebuah jabatan yang cukup prestisius yakni walikota Solo. Seabreg agenda kegiatan dan program kerja yang dinilai pro rakyat membuatnya menjadi seorang walikota "idola", walikota yang bisa memahami dan dekat dengan rakyat serta selalu membela kepentingan rakyat kecil. Salah satu contoh nyata yang dianggap program spektakuler pada saat itu ialah bagai mana seorang Jokowi mampu mengajak berbagai unsur masyarakat kota Solo untuk menata kesemerawutan kota yang penuh dengan PKL (Pedagang Kaki Lima) menjadi sebuah kota baru yang tertata dengan tertib dan indah. Itu semua bermula pada kebiasaan Jokowi yang selalu berusaha dekat dengan rakyat dan sering turun ke bawah untuk melihat kondisi riil di lapangan, Kita semua tahu bagaimana Jokowi tanpa canggung masuk ke pasar-pasar tradisional, melihat langsung kondisi jalan dan trotoar yang semerawut, masuk ke perkampungan-perkampungan padat penduduk dan hal-hal lain yang mungkin jarang sekali dilakukan oleh para pejabat di era sekarang ini. Ya, blusukan Jokowi bilang. Jargon inilah yang senantiasa digaungkan hingga terinstall di otak kita dengan begitu kuat, dan betapa jika kita mendengar kata blusukan yang terucap di mulut kita adalah Jokowi.
Masyarakat Indonesia saya pikir sangat paham dengan konsep ini. Sebuah pemikiran yang dipadu dengan laku perbuatan untuk melihat secara langsung segala hal yang terjadi di lapangan untuk selanjutnya dibawa pulang untuk diolah dengan analisis yang tajam sehingga menjadi sebuah program yang tepat sasaran dan pro rakyat. Kita semua paham benar bahwa jargon blusukan inilah yang mengalahkan Fauzi Bowo (Foke) serta kandidat-kandidat yang lain pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu.
Kalau kita analogikan dengan dunia persilatan "blusukan" seperti jurus yang paling sakti dan ampuh untuk menumbangkan para musuh. Maka, lagi-lagi kita sebagai masyarakat yang dinamis dengan pergerakan politik disuguhi bagaimana digdaya nya jurus blusukan ini. Betapa untuk saat ini Prabowo yang nota bene diusung oleh koalisi "gemuk" belum mampu mengalahkan Jokowi dalam hal meraih hati rakyat Indonesia pada pemilu presiden yang baru-baru ini digelar.
Blusukan, masih perlukah?
Kini, Jokowi adalah presiden pilihan rakyat, yang dipilih karena dicintai rakyat dan akan dilantik bulan Oktober mendatang. Mengikuti dinamika karier politik seorang Jokowi sepertinya akan menjadi bahasan yang tiada bosan untuk kita bicarakan dan kita diskusikan, karena memang di dalamnya ada nilai-nilai pendamping yang senantiasa melekat pada diri Jokowi seperti kesederhanaan, gaya komunikasi yang khas, cara berbusana yang nyentrik, dekat dengan rakyat, blusukan dan lain-lain. Nilai-nilai ini seperti sebuah perpaduan yang menjadi intrumen yang kelak akan mendampingi Jokowi dalam mengemban tugasnya sebagai seorang presiden. Ada satu pertanyaan yang menarik untuk kita kaji secara bersama-sama, yakni masih perlukah blusukan dilakukan oleh seorang presiden (bernama Jokowi)?
Ada dua hal penting yang akan dihadapi oleh Jokowi sebagai presiden terpilih. Pertama, yang perlu kita cermati bahwa menjadi seorang presiden tentunya membawa konsekuensi pada segudang tugas yang harus diemban, dilaksanakan dan diselesaikan dengan baik. Semua itu terbungkus dalam program kerja yang terencana. Belum lagi titipan amanat program yang dilimpahkan pemerintah sebelumnya yang belum terselesaikan. dan kiranya sangat wajar manakala kita menayakan perlu dan tidaknya blusukan oleh seorang presiden dengan banyaknya tugas yang harus dijalankan.
Yang kedua, kuantitas dan kualitas problematika yang akan dihadapi seorang Jokowi. Tentunya akan jauh berbeda bobot masalah yang mesti dipecahkan. Sangatlah wajar jika kita menilai dari sudut pandang orang awam bahwa tugas seorang walikota lebih berat dibandingkan dengan seorang camat, tugas seorang gubernur lebih berat dibandingkan dengan walikota begitu juga pada saat kita menyandingkan tugas seorang presiden dengan seorang gubernur, jawabannya pasti lebih berat melaksanakan tugas sebagai seorang presiden. Sekedear menengok ke belakang, saat itu Jokowi lebih bergulat dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat regional (kedaerahaan). Sebuah luas wilayah yang cukup untuk mengejawantahkan jargon blusukan yang selama ini merupakan ciri khas Jokowi. Kini, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah wilayah dan permasalahan nasional (Indonesia), dengan bentangan pulau serta laut/samudra dari Sabang sampai Merauke. Ranah yang lebih luas adalah berhadapan dengan dunia internasional. Ya, apalagi di era globalisasi dewasa ini. Bersambung.......
dalam konsep blusukan, ada baiknya kita melihat tujuan yang dilakukan oleh Jokowi yang pada masa itu merupakan pemimpi daerah.. tentunya blusukan menjadi sesuatu yang efektif untuk melihat poermasalahan teknis di masyarakat... dengan kompleksitas yang tinggi saat memegang jabatan tertinggi negara, saya pikir akan ada konsep yang bisa dipakai Jokowi sebagi instrumen dalam rangka mengetahui permasalahan negeri ini. Blusukan bukan hanya jargon.. itu adalah instrumen(yang seharusnya sejak jaman dahulu dilakukan oleh pemimpin2 daerah kita juga). kalau dahulu juga kita mengenal apa yg disebut dengan "sidak". apabila sidak dilakukan untuk melihat permasalahan instansi maka blusukan dilakukan untuk melihat permasalahan masyarakat baik secara kultural maupun struktural..
BalasHapussepokat mas diaz...terimaksh sdh mmpir
BalasHapus