Senin, 25 Agustus 2014

BLUSUKAN JOKOWI : MASIH PERLUKAH? (BAGIAN 1)


Oleh : Amin Purwanto, S. Pd

Siapa yang tidak mengenal Joko Widodo. Sosok yang lebih familiar dipanggil Jokowi dengan segala ciri khasnya yang melekat. Dalam ingatan kita jika mendengar nama Jokowi tentu akan terlintas pribadi yang sangat supel dan sederhana. Kesederhanaan inilah yang seakan-akan mewakili golongan rakyat "tingkat bawah" dan senantiasa dijadikan contoh sebagai seorang yang tidak pernah lupa akan asal usul dari mana dia berada.

Mengawali karier sebagai pengusaha mebel sampai dengan aktif dalam kegiatan politik (berafiliasi dengan Partai Demokrasi Perjuangan) mengantarkan beliau pada sebuah jabatan yang cukup prestisius yakni walikota Solo. Seabreg agenda kegiatan dan program kerja yang dinilai pro rakyat membuatnya menjadi seorang walikota "idola", walikota yang bisa memahami dan dekat dengan rakyat serta selalu membela kepentingan rakyat kecil. Salah satu contoh nyata yang dianggap program spektakuler pada saat itu ialah bagai mana seorang Jokowi mampu mengajak berbagai unsur masyarakat kota Solo untuk menata kesemerawutan kota yang penuh dengan PKL (Pedagang Kaki Lima) menjadi sebuah kota baru yang tertata dengan tertib dan indah. Itu semua bermula pada kebiasaan Jokowi yang selalu berusaha dekat dengan rakyat dan sering turun ke bawah untuk melihat kondisi riil di lapangan, Kita semua tahu bagaimana Jokowi tanpa canggung masuk ke pasar-pasar tradisional, melihat langsung kondisi jalan dan trotoar yang semerawut, masuk ke perkampungan-perkampungan padat penduduk dan hal-hal lain yang mungkin jarang sekali dilakukan oleh para pejabat di era sekarang ini. Ya, blusukan Jokowi bilang. Jargon inilah yang senantiasa digaungkan hingga terinstall di otak kita dengan begitu kuat, dan betapa jika kita mendengar kata blusukan yang terucap di mulut kita adalah Jokowi.